Pernikahan dalam Islam
Pengertian Pernikahan
Secara Etimologi : berasal dari kata Bahasa arab : nakaha – yankihu – nikahan bisa diartikan wathi atau ijma` yang artinya “mengumpulkan”.
Menurut pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Tujuan Pernikahan
Pemenuhan kebutuhan biologis dalam hal ini Allah berfirman :
“dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” (Q.S Al-Maarij, 70: 29-30)
Mempeoleh keturunan yang sah yang dalam masyarakat diharapkan dapat melestarikan kehidupan umat manusia sesuai ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syariah, dalam hal ini Allah berfirman :
“Allah menjadikan bagi kamu istri–istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik, maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah” (Q.S. An-Nahl 16 :72)
Menjalin rasa cinta dan kasih sayang antara suami dan istri
UU No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Menjaga kehormatan dalam hal ini Allah Swt. Berfirman:
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagi ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina….” (Q.S. An-Nisa,4 : 24)
Beribadah Kepada Allah Swt. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
“Barang siapa yang Allah telah memberi rizki kepadanya berupa isteri sholehah, berarti Allah telah menolongnya pada separo agamanya. Maka bertawakalah kepada Allah untuk separo sisanya (H.R. Al-Thabrani di dalam Al-Ausath, dan Hakim. Hakim berkata sanadnya sahih”)
Fungsi Pernikahan
Mendapatkan ketenangan hidup (mawaddah wa rahmah)
sebagaimana telah dijelaskan pada ( Q.S Ar-Rum, 30 : 21 ) yang artinya “Supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang”
Menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan
Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam hadist riwayat Imam Al-Bukhari , “Wahai pemuda, barang siapa diantara kamu yang sudah mampu, maka menikahlah, karena dengan menikah maka akan menundukkan pandangan mata dan menjaga kehormatan, serta bagi yang tidak mampu dianjurkan untuk berpuasa karena dengan puasa dapat mengendalikan diri.” [H.R. Al-Bukhori]
Untuk mendapatkan keturunan
Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menganjurkan memilih pasangan yang subur yang akan memberikan banyak keturunan. Beliau Bersabda “… Nikahilah wanita yang bibitnya subur sehingga dapat memberikan banyak keturunan, lagi penyayang karena aku bangga dihadapan para nabi dengan banyaknya kamu dihari kiama…” [H.R. Imam Ahmad]
Dasar Hukum Pernikahan
(Q.S Ar-Rum, 30 : 2)
Yang artinya “dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah dia menciptakan untuk kamu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu (dan pasanganmu) rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
(Q.S. An-Nisa,4: 3)
Yang artinya “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim ( bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya)”
(Q.S. An-Nuur, 24 : 32)
Yang artinya “dan kawinkanlah orang-orng yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hambamu yang lai-laki dan hamba-hambamu yang perempuan”
Prinsip-prinsip Pernikahan
Prinsip Kebebasan Memilih
Setiap orang mempunyai kebebasan memilih pasangannya selama tidak bertentangan dengan yang telah di syariatkan dalam Al-Quran. (Q.S. An-Nisa’, 4: 23-24) dan (Q.S. An-Nuur, 24: 3)
Prinsip Musyawarah dan Demokrasi
Musyawarah artinya segala aspek dalam kehidupan rumah tangga harus diselesaikan dan diputuskan secara musyawarah antara suami isteri. Demokrasi artinya bahwa suami dan isteri harus saling terbuka menerima pendapat pasangan, demikian juga dengan anak-anak dan keluarga besar bila diperlukan.
Prinsip Menghindari Kekerasan
Dalam berumah tangga harus menghindari adanya kekerasan baik fisik maupun psikis.
Prinsip Hubungan yang Sejajar
Menegasakan bahwa suami dan isteri mempunyai hubungan yang sejajar. (Q.S. Al-Baqarah,2: 187)
Prinsip Keadilan
Keadilan bisa dalam hal kesempatan untuk mengembangkan diri, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, keadilan dalam berbagi peran dalam rumah tangga, adil dalam mengasuh anak tanpa membedakan jenis kelamin dan lain-lain. (Q.S.An-Nahl, 16: 90)
Prinsip Mawaddah
Mengosongkan hatinya dari kehendak-kehendak buruk. (Q.S. Ar-Rum, 30: 21)
Prinsip Rahmah
Saling mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam memberi kebaikan untuk pasangannya, saling melengkapi, dan menolak segala hal yang mengganggu hubungan keduanya.
Prinsip Amanah/ Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam menjalankan hubungan suami isteri dalam melaksanakan hak dan kewajiban keduanya.
Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf
Tujuan berkeluarga dan terwujudnya prinsip-prinsip diatas adalah adanya hubungan yang dibina atas dasar kebaikan dan saling memahami yang biasa disebut mu,asyarah bil ma’ruf. (Q.S. An-Nisa’, 4: 19)
Rukun-rukun Pernikahan
Calon suami
Calon isteri
Wali nikah
Ijab qobul
Dua orang saksi
Syarat Sah Pernikahan
Menurut Wahbah Zuhaili
Antara suami isteri tidak ada hubungan nasab
Sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu
Tidak ada paksaan
Adanya persaksian dan perwalian
Ada kejelasan calon suami isteri
Ada mahar
Tidak sedang ihram
Tidak ada kesepakatan menyembunyikan akad nikah salah satu mempelai
Tidak sedang menderita penyakit kronis
Konsep Wali dan Mahar
Hadits Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh al-Daruquthni: “Tidak dipandng sah perikahan tanpa wali dan dua orang saksi”.
Dalam istilah fikih, wali berarti orang yang memiliki kuasa untuk melakukan tasharruf tanpa tergantung izin dari orang lain. Pada masa pra Islam, wali berhak menentukan jodoh untuk anaknya. Disamping sebagai bentuk kuasa laki-laki atas perempuan, konsep wali di klangan Arab pra Islam lebih terkesan sebagai peniadaan kebebasan dan hak bagi perempuan. Hal ini kemudian diartikan bahwa mahar adalah harga seorang perempuan yang dibeli dari walinya. Adalah wajar bila suami mempunyai wewenang penuh terhadap isteriya untuk melakukan apa saja, menjadikan apa saja, termasuk kemungkinan menikahkannya denga pria lain.
Dalam Islam, wali dianggap sebagai pemandu perempuan Arab pada masa itu yang kebnyakan masih bodoh, tidak berpendidikan dan tertinggal dalam segala bidang. Sedangkan mahar adalah sebuah tanda kesungguhan yang diberikan laki laki kepada perempuan yang akan dinikahinya.
Faktor Penghalang Terjadinya Pernikahan
Faktor selama-lamanya, diantaranya:
Antara suami isteri masih memiliki hubungan nasab
Antara suami dan isteri masih memiliki hubungan sepersusuan
Antara suami isteri mempunyai hubungan semenda/perkawinan (Q.S An-Nisa, 4:23)
Larangan pernikahan dalam hubungan kekerabatan ini tercatat dalam UU Perkawinan Tahun 1974 Pasal 8.
Faktor sementara, diantaranya:
Calon isteri masih memiliki ikatan perkawinan (KHI Pasal 40)
Memadukan dua orang perempuan yang sedarah dalam hal seorang suami mempunyai steri lbih dari satu (KHI Pasal 4)
Isteri orang lain atau bekas isteri orang lain yang sedang menjalani masa iddah. Tujuannya untuk membersihakan rahim perempuan dan memastikan bahwa tidak ada benih yang tertanam dari suami sebelumnya.
Perempuan yang ditalak tiga kali atau dicerai secara li’an.
Kedua calon mempelai tidak sedang dala keadaan ihram (haji atau umrah).
Khusus bagi calon mempelai suami, tidak beristerikan lebih dari 4 orang.
Praktik Pernikahan Dalam Islam
Pada masa pra Islam, berbagai bentuk perkawinan yang ada lebih menempakan perempuan sebagai objek yang harus tunduk dan mengikuti keinginan suami daripada sebagai teman hidup yang bakal memberikan keturuna kepadanya. Bentuk perkawinan yang ada cenderung dilakukan untuk kepentingan pihak pihak tertentu.
Bentuk-bentuk perkawinan yang dilakukan pada masa pra Islam:
Perkawinan al-daizan, menetapkan bahwa apabila suami dari perempuan meninggal dunia, anak laki laki nya yang tertua behak mengawininya. Bahkan anak tersebut punya hak untuk mengawinkannya dengan orang lain atau melarangnya menikah ampai ia meninggal dunia.
Zawwaj al-badal (saling bertukar isteri). Seorang laki-laki dapat meminta laki-laki lain untuk melepaskan istrinya untuk diperisteri dan sebagai gantinya ia akan menyerahkan isterinya untuk diperisteri laki-laki tersebut tanpa pemberian mas kawin.
Zawwaj al-sighar, pengantin laki laki memberikan anak atau saudara perempuannya untuk dinikahkan dengan laki-laki yang akan mengawinkannya dengan saudara peempuan laki-laki tersebut tanpa adanya mahar.
Zawwaj al-istibda’, seorang suami akan meminta isterinya untuk brsetubuh dengan laki-laki yang dianggap mempunyai kekuatan dan kelebihan agar isteri tersebut bisa hamil dan mengandung anaknya.
Al-zainah, seorang laki-laki yang menikahi tawanan perang perempuan dan tawanan tersebut tidak dapat menolak. Tiak ada pembayaran mas kawin atau khutbah nikah.
Kontroversi Praktik Pernikahan
Poligami
Makna yang terkandung dalam Q.S An-nisa ayat 3 adalah :
“ dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana amu mengawini nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi,dua,tiga,atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawini lah) satu saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S An-Nisa,4:3)
Imam syafi’I menghubungkan konsep keadilan dalam Q.S An-Nisa,4:3 dan 129. beliau menyimpulkan bahwa keadilan yang dituntut pada ayat 3 adalah kebutuhan fisik, karena keadilan batiniah seperti yang tercatat pada ayat 129 mustahil aan bisa diwujudkan.
Dalam memahami Q.S An-Nisa,4:3 perlu memperhatikan beberapa catatan.
Ayat tersebut diwahyukan untuk memberi bimbingan bagi kaum muslimin dalam menghadapi kondisi setelah perang uhud. Banyak sahabat yang gugur, sehingga sangat mengurangi jumlah lelaki yang pada waktu itu merupakan penopang hidup kaum perempuan
Bilangan dua,tiga atau empat yang tercatat dalam Q.S an-Nisa,4:3 merupakan langkah pembatasan sekaligus koreksi atas tradisi poligami tanpa batas yang berlaku pada waktu itu. Pada makna ayat tadi memperjelas bahwa pada dasar nya asas monogami adalah konsep perkawinan yang diinginkan oleh Al-Qur’an.
Jika alasan poligami didasaran kepada kebutuhan sesual lai-laki yang tidak terkendali dan tida terpuaskan hanya dengan satu isteri,daripada melakukan perbuatan maksiat seperti zina, maka diperbolehkan memperistri dua dan seterus nya. Apakah demikian, sedangkan isteri diisyaratkan untuk setia,mampu mengendalikan diri. Al-qur’an tentu tidak menekankan pada satu tingkat lebih tinggi dan beradab hanya kepada wanita saja sementara membiarkan laki-laki sebaliknya(wadud,2001:151-152)
Pernikahan siri
Pernikahan siri adalah adalah pernikahan yang disembunyikan, dirahasiakan dan tidak diketahui oleh masyarakat luar (Az-Zuhaili,1989:71).adapun nikah sirri dalam konteks yuridis di indonesia adalah pernikahan secara syar’i(dalam konteks fiqih) dengan diketahui oleh oreang banyak, hanya saja tidak dicatatkan di kantor urusan agama.
Abdul Halim menggali persoalan niah siri dalam perspektif hukum islam dan perspetif hukum nasional(Halim,2003:23)meskipun ditinjau dalam perspektif islam nikah siri relatif sah tapii berdasarkan dalil-dalil ushuliyyun serta kaidah-kaidah fiihiyyah kalangan fukaha mengklasifikasikan boleh atau tidaknya tergantung dari aspek kelengkapan syarat dan rukun nikah maupun aspe manfaat dan mudharat nya. Sedangkan secara hukum nasional, berdasarkan pasal 2 ayat 2 UU No.1 tahun 1974, disebutkan bahwa : “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”.
Pernikahan mut’ah
Pernikahan mut’ah adalah kontrak perkawinan sementara yang dinyatakan sah hanya di kalangan kaum syiah itsna as’ariyah. Dalam perniahan mut’ah masa berlaunya kontrak disebutkan, setelah masa tersebut berahir maka dengan sendirinya pernikahan tersebut tidak berlaku lagi. Mereka menganggap perniahan tersebut sah dengan bersandar pada Q.S An-Nisa,4;24. “ maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya( dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiada lah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan maharnya”. Az-Zamakhsyari dalam kitabnya alkasyaf menolak bahwa Q.S An-Nisa,4;24 tersebut berkenaan sebagai pembolehan dilangsungkannya pernikahan mut’ah. Menurutnya, mut’ah berarti kesenangan atau keuntungan.
Pernikahan sesama jenis
Dalam KBBI homoseks didefinisikan dengan hubungan seks dengan pasangan sejenis.pelaku homoseks tersebut biasa disebut dengan gay untuk laki-laki dan lesby untuk perempuan.pernikahan yang terjadi antara pasangan sejenis baik laki-laki maupun perempuan adalah diharamkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an,hadis,kitab fikih maupun huum positif di indonesia memberian satu penjelasan yang sama bahwa pernikahan adalah akad yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam membina hubungan rumah tangga ( Ar-Ruum,30:21; UU No.1 tahun 1974 pasal 1; KHI pasal 1,2,3 dan lain-lain.)
Sumber : http://library.uny.ac.id/sirkulasi/index.php?p=show_detail&id=55773&keywords=Dinul+islam
Secara Etimologi : berasal dari kata Bahasa arab : nakaha – yankihu – nikahan bisa diartikan wathi atau ijma` yang artinya “mengumpulkan”.
Menurut pasal 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Tujuan Pernikahan
Pemenuhan kebutuhan biologis dalam hal ini Allah berfirman :
“dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela” (Q.S Al-Maarij, 70: 29-30)
Mempeoleh keturunan yang sah yang dalam masyarakat diharapkan dapat melestarikan kehidupan umat manusia sesuai ketentuan-ketentuan yang diatur oleh syariah, dalam hal ini Allah berfirman :
“Allah menjadikan bagi kamu istri–istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik, maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah” (Q.S. An-Nahl 16 :72)
Menjalin rasa cinta dan kasih sayang antara suami dan istri
UU No. 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Menjaga kehormatan dalam hal ini Allah Swt. Berfirman:
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagi ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina….” (Q.S. An-Nisa,4 : 24)
Beribadah Kepada Allah Swt. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
“Barang siapa yang Allah telah memberi rizki kepadanya berupa isteri sholehah, berarti Allah telah menolongnya pada separo agamanya. Maka bertawakalah kepada Allah untuk separo sisanya (H.R. Al-Thabrani di dalam Al-Ausath, dan Hakim. Hakim berkata sanadnya sahih”)
Fungsi Pernikahan
Mendapatkan ketenangan hidup (mawaddah wa rahmah)
sebagaimana telah dijelaskan pada ( Q.S Ar-Rum, 30 : 21 ) yang artinya “Supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan sayang”
Menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan
Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam hadist riwayat Imam Al-Bukhari , “Wahai pemuda, barang siapa diantara kamu yang sudah mampu, maka menikahlah, karena dengan menikah maka akan menundukkan pandangan mata dan menjaga kehormatan, serta bagi yang tidak mampu dianjurkan untuk berpuasa karena dengan puasa dapat mengendalikan diri.” [H.R. Al-Bukhori]
Untuk mendapatkan keturunan
Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menganjurkan memilih pasangan yang subur yang akan memberikan banyak keturunan. Beliau Bersabda “… Nikahilah wanita yang bibitnya subur sehingga dapat memberikan banyak keturunan, lagi penyayang karena aku bangga dihadapan para nabi dengan banyaknya kamu dihari kiama…” [H.R. Imam Ahmad]
Dasar Hukum Pernikahan
(Q.S Ar-Rum, 30 : 2)
Yang artinya “dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah dia menciptakan untuk kamu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu (dan pasanganmu) rasa kasih dan saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
(Q.S. An-Nisa,4: 3)
Yang artinya “dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim ( bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berbuat adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya)”
(Q.S. An-Nuur, 24 : 32)
Yang artinya “dan kawinkanlah orang-orng yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hambamu yang lai-laki dan hamba-hambamu yang perempuan”
Prinsip-prinsip Pernikahan
Prinsip Kebebasan Memilih
Setiap orang mempunyai kebebasan memilih pasangannya selama tidak bertentangan dengan yang telah di syariatkan dalam Al-Quran. (Q.S. An-Nisa’, 4: 23-24) dan (Q.S. An-Nuur, 24: 3)
Prinsip Musyawarah dan Demokrasi
Musyawarah artinya segala aspek dalam kehidupan rumah tangga harus diselesaikan dan diputuskan secara musyawarah antara suami isteri. Demokrasi artinya bahwa suami dan isteri harus saling terbuka menerima pendapat pasangan, demikian juga dengan anak-anak dan keluarga besar bila diperlukan.
Prinsip Menghindari Kekerasan
Dalam berumah tangga harus menghindari adanya kekerasan baik fisik maupun psikis.
Prinsip Hubungan yang Sejajar
Menegasakan bahwa suami dan isteri mempunyai hubungan yang sejajar. (Q.S. Al-Baqarah,2: 187)
Prinsip Keadilan
Keadilan bisa dalam hal kesempatan untuk mengembangkan diri, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, keadilan dalam berbagi peran dalam rumah tangga, adil dalam mengasuh anak tanpa membedakan jenis kelamin dan lain-lain. (Q.S.An-Nahl, 16: 90)
Prinsip Mawaddah
Mengosongkan hatinya dari kehendak-kehendak buruk. (Q.S. Ar-Rum, 30: 21)
Prinsip Rahmah
Saling mendorong untuk bersungguh-sungguh dalam memberi kebaikan untuk pasangannya, saling melengkapi, dan menolak segala hal yang mengganggu hubungan keduanya.
Prinsip Amanah/ Tanggung Jawab
Tanggung jawab adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam menjalankan hubungan suami isteri dalam melaksanakan hak dan kewajiban keduanya.
Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf
Tujuan berkeluarga dan terwujudnya prinsip-prinsip diatas adalah adanya hubungan yang dibina atas dasar kebaikan dan saling memahami yang biasa disebut mu,asyarah bil ma’ruf. (Q.S. An-Nisa’, 4: 19)
Rukun-rukun Pernikahan
Calon suami
Calon isteri
Wali nikah
Ijab qobul
Dua orang saksi
Syarat Sah Pernikahan
Menurut Wahbah Zuhaili
Antara suami isteri tidak ada hubungan nasab
Sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu
Tidak ada paksaan
Adanya persaksian dan perwalian
Ada kejelasan calon suami isteri
Ada mahar
Tidak sedang ihram
Tidak ada kesepakatan menyembunyikan akad nikah salah satu mempelai
Tidak sedang menderita penyakit kronis
Konsep Wali dan Mahar
Hadits Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh al-Daruquthni: “Tidak dipandng sah perikahan tanpa wali dan dua orang saksi”.
Dalam istilah fikih, wali berarti orang yang memiliki kuasa untuk melakukan tasharruf tanpa tergantung izin dari orang lain. Pada masa pra Islam, wali berhak menentukan jodoh untuk anaknya. Disamping sebagai bentuk kuasa laki-laki atas perempuan, konsep wali di klangan Arab pra Islam lebih terkesan sebagai peniadaan kebebasan dan hak bagi perempuan. Hal ini kemudian diartikan bahwa mahar adalah harga seorang perempuan yang dibeli dari walinya. Adalah wajar bila suami mempunyai wewenang penuh terhadap isteriya untuk melakukan apa saja, menjadikan apa saja, termasuk kemungkinan menikahkannya denga pria lain.
Dalam Islam, wali dianggap sebagai pemandu perempuan Arab pada masa itu yang kebnyakan masih bodoh, tidak berpendidikan dan tertinggal dalam segala bidang. Sedangkan mahar adalah sebuah tanda kesungguhan yang diberikan laki laki kepada perempuan yang akan dinikahinya.
Faktor Penghalang Terjadinya Pernikahan
Faktor selama-lamanya, diantaranya:
Antara suami isteri masih memiliki hubungan nasab
Antara suami dan isteri masih memiliki hubungan sepersusuan
Antara suami isteri mempunyai hubungan semenda/perkawinan (Q.S An-Nisa, 4:23)
Larangan pernikahan dalam hubungan kekerabatan ini tercatat dalam UU Perkawinan Tahun 1974 Pasal 8.
Faktor sementara, diantaranya:
Calon isteri masih memiliki ikatan perkawinan (KHI Pasal 40)
Memadukan dua orang perempuan yang sedarah dalam hal seorang suami mempunyai steri lbih dari satu (KHI Pasal 4)
Isteri orang lain atau bekas isteri orang lain yang sedang menjalani masa iddah. Tujuannya untuk membersihakan rahim perempuan dan memastikan bahwa tidak ada benih yang tertanam dari suami sebelumnya.
Perempuan yang ditalak tiga kali atau dicerai secara li’an.
Kedua calon mempelai tidak sedang dala keadaan ihram (haji atau umrah).
Khusus bagi calon mempelai suami, tidak beristerikan lebih dari 4 orang.
Praktik Pernikahan Dalam Islam
Pada masa pra Islam, berbagai bentuk perkawinan yang ada lebih menempakan perempuan sebagai objek yang harus tunduk dan mengikuti keinginan suami daripada sebagai teman hidup yang bakal memberikan keturuna kepadanya. Bentuk perkawinan yang ada cenderung dilakukan untuk kepentingan pihak pihak tertentu.
Bentuk-bentuk perkawinan yang dilakukan pada masa pra Islam:
Perkawinan al-daizan, menetapkan bahwa apabila suami dari perempuan meninggal dunia, anak laki laki nya yang tertua behak mengawininya. Bahkan anak tersebut punya hak untuk mengawinkannya dengan orang lain atau melarangnya menikah ampai ia meninggal dunia.
Zawwaj al-badal (saling bertukar isteri). Seorang laki-laki dapat meminta laki-laki lain untuk melepaskan istrinya untuk diperisteri dan sebagai gantinya ia akan menyerahkan isterinya untuk diperisteri laki-laki tersebut tanpa pemberian mas kawin.
Zawwaj al-sighar, pengantin laki laki memberikan anak atau saudara perempuannya untuk dinikahkan dengan laki-laki yang akan mengawinkannya dengan saudara peempuan laki-laki tersebut tanpa adanya mahar.
Zawwaj al-istibda’, seorang suami akan meminta isterinya untuk brsetubuh dengan laki-laki yang dianggap mempunyai kekuatan dan kelebihan agar isteri tersebut bisa hamil dan mengandung anaknya.
Al-zainah, seorang laki-laki yang menikahi tawanan perang perempuan dan tawanan tersebut tidak dapat menolak. Tiak ada pembayaran mas kawin atau khutbah nikah.
Kontroversi Praktik Pernikahan
Poligami
Makna yang terkandung dalam Q.S An-nisa ayat 3 adalah :
“ dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana amu mengawini nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi,dua,tiga,atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawini lah) satu saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S An-Nisa,4:3)
Imam syafi’I menghubungkan konsep keadilan dalam Q.S An-Nisa,4:3 dan 129. beliau menyimpulkan bahwa keadilan yang dituntut pada ayat 3 adalah kebutuhan fisik, karena keadilan batiniah seperti yang tercatat pada ayat 129 mustahil aan bisa diwujudkan.
Dalam memahami Q.S An-Nisa,4:3 perlu memperhatikan beberapa catatan.
Ayat tersebut diwahyukan untuk memberi bimbingan bagi kaum muslimin dalam menghadapi kondisi setelah perang uhud. Banyak sahabat yang gugur, sehingga sangat mengurangi jumlah lelaki yang pada waktu itu merupakan penopang hidup kaum perempuan
Bilangan dua,tiga atau empat yang tercatat dalam Q.S an-Nisa,4:3 merupakan langkah pembatasan sekaligus koreksi atas tradisi poligami tanpa batas yang berlaku pada waktu itu. Pada makna ayat tadi memperjelas bahwa pada dasar nya asas monogami adalah konsep perkawinan yang diinginkan oleh Al-Qur’an.
Jika alasan poligami didasaran kepada kebutuhan sesual lai-laki yang tidak terkendali dan tida terpuaskan hanya dengan satu isteri,daripada melakukan perbuatan maksiat seperti zina, maka diperbolehkan memperistri dua dan seterus nya. Apakah demikian, sedangkan isteri diisyaratkan untuk setia,mampu mengendalikan diri. Al-qur’an tentu tidak menekankan pada satu tingkat lebih tinggi dan beradab hanya kepada wanita saja sementara membiarkan laki-laki sebaliknya(wadud,2001:151-152)
Pernikahan siri
Pernikahan siri adalah adalah pernikahan yang disembunyikan, dirahasiakan dan tidak diketahui oleh masyarakat luar (Az-Zuhaili,1989:71).adapun nikah sirri dalam konteks yuridis di indonesia adalah pernikahan secara syar’i(dalam konteks fiqih) dengan diketahui oleh oreang banyak, hanya saja tidak dicatatkan di kantor urusan agama.
Abdul Halim menggali persoalan niah siri dalam perspektif hukum islam dan perspetif hukum nasional(Halim,2003:23)meskipun ditinjau dalam perspektif islam nikah siri relatif sah tapii berdasarkan dalil-dalil ushuliyyun serta kaidah-kaidah fiihiyyah kalangan fukaha mengklasifikasikan boleh atau tidaknya tergantung dari aspek kelengkapan syarat dan rukun nikah maupun aspe manfaat dan mudharat nya. Sedangkan secara hukum nasional, berdasarkan pasal 2 ayat 2 UU No.1 tahun 1974, disebutkan bahwa : “ tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”.
Pernikahan mut’ah
Pernikahan mut’ah adalah kontrak perkawinan sementara yang dinyatakan sah hanya di kalangan kaum syiah itsna as’ariyah. Dalam perniahan mut’ah masa berlaunya kontrak disebutkan, setelah masa tersebut berahir maka dengan sendirinya pernikahan tersebut tidak berlaku lagi. Mereka menganggap perniahan tersebut sah dengan bersandar pada Q.S An-Nisa,4;24. “ maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya( dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiada lah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan maharnya”. Az-Zamakhsyari dalam kitabnya alkasyaf menolak bahwa Q.S An-Nisa,4;24 tersebut berkenaan sebagai pembolehan dilangsungkannya pernikahan mut’ah. Menurutnya, mut’ah berarti kesenangan atau keuntungan.
Pernikahan sesama jenis
Dalam KBBI homoseks didefinisikan dengan hubungan seks dengan pasangan sejenis.pelaku homoseks tersebut biasa disebut dengan gay untuk laki-laki dan lesby untuk perempuan.pernikahan yang terjadi antara pasangan sejenis baik laki-laki maupun perempuan adalah diharamkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an,hadis,kitab fikih maupun huum positif di indonesia memberian satu penjelasan yang sama bahwa pernikahan adalah akad yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam membina hubungan rumah tangga ( Ar-Ruum,30:21; UU No.1 tahun 1974 pasal 1; KHI pasal 1,2,3 dan lain-lain.)
Sumber : http://library.uny.ac.id/sirkulasi/index.php?p=show_detail&id=55773&keywords=Dinul+islam
Comments
Post a Comment