Politik Islam
Politik Islam
Pengertian Politik Islam
Politik Islam diartikan sebagai Siyasah Ilahiyyah wa Inabah Nabawiyyah saw. (Abdul Wahab Khalaf, 1984: 6) politik Islam merupakan serangkaian pandangan hidup berdasarkan perintah Allah dan Rasulullah yang bermuara pada proses keadilan dan keadaban.
Mohd Kamal Hassan menyebut politik Islam secara umum terangkum dalam tiga kategori:
Pertama, Siyasah Diniyyah :berpusat di wahyu, dan dilaksakan dengan sistem Khilafah dan Imamah.
Kedua, Siyasah `Aqliyyah: dari sumber pemikiran manusia, dan berasaskan kedaulatan wilayah (Mulk).
Ketiga, Siyasah Madaniyyah: Negara madani (fadilah) sebagaimana diutarakan oleh ahli falsafah Muslim, al-Farabi dalam al-Madinah al-Fadilah dan ahli falsafah Yunani, Plato dalam Republic
Fuqaha’ (ahli fikih) menjelaskan siyasah syar`iyyah (politik Islam) sebagai kekuasaan bagi pemerintah untuk melaksanakan sesuatu guna meraih maslahah (kebajikan) yang tidak menyalahi ushul (pokok) agama walaupun tiada dalil khusus tentangnya. Politik Islam berkewajiban memperjuangkan mashalih al-`ibad (kebaikan bagi seorang manusia/kemanusiaan), mencapai maqashid al-syari`ah (tujuan/maksud utama ber-Islam), dan mashlahah al-mursalah (mendapatkan kebajikan) .
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah menjelaskan konsep politik Islam adalah selaras dengan agama, bahkan ia adalah bagian tak terpisahkan darinya.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa, al-Idrisî, Ibn al-Fuwatî, dan Ibn al-Ibrî memahami istilah siyâsah sebagai kebijaksanaan atau tindakan negara yang berada di luar cakupan dan intervensi jauh dari syariah.
Bagi Ibn al-Tiqtaqâ, siyasah adalah “ilmu” yang independen tentang pemerintahan, dengan ketentuan-ketentuan prosedur dan berbeda dengan doktrin syariah
tujuan politik Islam pada dasarnya bermuara pada maqashid al-syariah, baik dalam daruriyah (esensial/pokok) (perlindungan keberagamaan, religiositas; perlindungan jiwa; perlindungan akal; perlindungan keturunan; perlindungan harta kekayaan, hajiyyah (primer), maupun tahsiniyyah (komplementer).
Secara lebih sederhana Kuntowijoyo (1997) mendefinisikan politik Islam sebagai refleksi paradigma, gagasan, perilaku, aksi dan identitas politik masyarakat Muslim secara umum, yang juga memayungi ragam dan corak keagamaan dan orientasi politik umat Islam; mulai dari fundamentalisme, radikalisme, moderatisme, integrisme, dan hingga apolitismequetis.
Ibnu Khaldun,( tokoh politik besar di Yunani) menyatakan bahwa politik berkaitan dengan kekuasaan dalam suatu wilayah negara.
Titik puncak dari pengertian kekuasaan itu adalah kebenaran. Pengertian tersebut mengisyaratkan kepada kita adanya sinergi antara agama dan politik. Agama selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran, sedangkan politik adalah cara mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan dalam politik adalah memperjuangkan kebenaran.
Al-Mawardi, menyatakan bahwa negara itu merupakan lembaga penting untuk meneruskan fungsi kenabian (profetik) dalam rangka memelihara agama dan menata dan mengatur kehidupan dunia. pandangan beliau bahwa antara agama dan politik itu saling terkait.
Bruce B. Lawrence, Guru Besar Studi Islam di Duke University Amerika Serikat, menulis, bahwa pemisahan agama dari politik (pandangan sekularistik) berkembang menjadi jebakan, menjadi retorika untuk apa saja yang salah tentang kolonialisme dan warisannya serta apa saja yang benar tentang norma-norma Islam.
Pada dasarnya dapat diringkas dalam dua pandangan umum. Pertama, merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam. model pemikiran yang kedua lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal.
Syarifuddin Jurdi (2008: 187) menegaskan bahwa pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan konsekuensi logis dari proses Islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya.
Konfigurasi Politik Islam di Indonesia
Model legal formal idealisme politik Islam, seakan membenarkan varian pertama tentang konsepsi Negara dalam Islam ala Munawir Sjadzali. Munawir Sjadzali, menyatakan setidaknya ada tiga pendapat tentang konsepsi negara dalam Islam. Pendapat pertama menyatakan Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara. Kedua, kelompok yang berpendirian bahwa Islam, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan kenegaraan. Kelompok ketiga, tidak sependapat bahwa Islam merupakan suatu agama yang serba lengkap yang di dalamnya juga mengatur suatu sistem kenegaraan.
Dari geneologi pergerakan Islam pascakemerdekaan.
Ahmad Syafii Maarif, menyebut setidaknya muncul pada sidang Majelis Konstituante dari bulan November 1956-Juni 1959. Buya Syafii menulis, kekuatan politik Islam dalam siding-sidang Majelis seakan-akan melupakan persaingan mereka di pentas politik praktis.
Di sinilah letak perbedaan pendapat yang mendasar itu. Dan sebuah kompromi masih mungkin sekiranya pada tahun 1959 itu kekuatan ekstrakonstitusional tidak melakukan intervensi dalam siding-sidang Majelis. Kekuatan itu adalah; tentara dan Sukarno. Dasar Islam atau Pancasila dengan pelaksaan syariat didukung oleh Masyumi, NU, PSII, Perti, dan Partai Tarekat. Dasar Pancasila murni diperjuangkan oleh PNI, PKI, PSI, Partai Katolik, Parkindo, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), dan beberapa partai kecil(Sosial Ekonomi, yaitu Partai Buruh dan Partai Murba).
Oleh sebab itu, persaingan sengit adalah antara kelompok pertama dan kelompok kedua. Persaingan antara dua kelompok itu akhirnya “dimenangkan” oleh kelompok kedua. Kemenangan kelompok kedua, bukan berarti menafikan kelompok pertama yang mengusung dasar Islam atau Pancasila dengan pelaksanaan syariat. Diskusi para Bapak dan Ibu Bangsa (foundhing fathers and mathers) itulah yang mewarnai sejarah panjang bangsa Indonesia.
Mereka tetap menghargai pendapat satu sama lain. Iklim kebebasan berpendapat menjadi pelajaran penting bagi generasi terkini untuk turut serta membangun bangsa dan Negara (Maarif, 1995: 173). Dalam konteks kekinian (era pascareformasi 1998), pemilihan umum tahun 1999 menjadi tonggak bagi kelompok Islamis untuk berjuang memasukkan “syariat Islam” dalam ideologi negara. Kekuatan politik Islam resmi (PBB, PPP, PK [S]) menyampaikan pemikiran mereka mengenai perlu dimasukkan kembali Piagam Jakarta dalam pembahasan amandemen UUD.
Partai-partai itu didukung pula oleh Fraksi Daulatul Umah, serta dukungan luar parlementer; ada yang menggelar Tabligh Akbar, demonstrasi dan kegiatan lainnya sebagai bentuk dukungan atas dimasukkannya kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945. Kelompok Islam di luar parlemen terdiri atas FPI, Gerakan Pemuda Islam (GPI), KAMMI, Pelajar Islam Indonesia (PII), DDII, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Himpunan Mahasiswa Muslim antar Kampus (HAMMAS) HMI-MPO, dan berbagai gerakan Islam lainnya.
Ahmad Syafii Maarif (2015: 322), menyatakan, demi upaya mengukuhkan keindonesiaan dan kemanusiaan, Piagam Jakarta tidak perlu lagi dilihat dari perspektif legal formal, tetapi diambil ruhnya berupa tegaknya keadilan yang merata bagi seluruh penghuni Nusantara, tanpa diskriminasi.
Mengapa Islam? Bukan karena semata-mata dianut oleh mayoritas penduduk, melainkan karena kualitas ajarannya sangat memungkinkan untuk itu. Kelima Sila Pancasila itu jika dipahami secara benar dalam satu kesatuan tidak ada yang perlu dipersoalkan dari sudut pandangan teologi Islam.
Politik Islam dimaknai dari ruang substansial demi mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Inilah yang kemudian meminjam bahasa Miriam Budiarjo kekuasaan politik (organisasi politik atau negara) pada dasarnya adalah upaya untuk menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian dan ketertiban. Ibnu Taymiyah dalam al-Siyasah al-Syar’iyyah, menulis, wilayah (organisasi politik) bagi (kehidupan kolektif) manusia merupakan keperluan agama yang terpenting.
Negara bagi Ibn Taimiyyah berfungsi sebagai institusi politik untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan mencegah larangan-larangan-Nya. Senada dengan hal tersebut, Muhammad Natsir, menyatakan bahwa Negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi Alquran, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata . Inilah yang kemudian disebut sebagai tujuan-tujuan social politik Islam.
Tujuan-tujuan sosial-politik Islam itu, terutama gagasan tentang keharusan mengembangkan tatanan politik yang lebih egalitarian( mengatasi kemunduran politik). Di antara refleksi tauhid dalam hidup bermasyarakat adalah terwujudnya prinsip egaliter dalam kegiatan politik. Prinsip ini barulah dapat dijalankan bilamana teori-teori tentang keunggulan ras, suku bangsa, dan keturunan dinyatakan sebagai bertentangan secara mutlak dengan ajaran Islam.
Reorientasi Politik Islam, Agenda Menuju Aksi
Sedikitnya ada dua unsur strategis yang terkandung dalam tujuan-tujuan politik yang perlu didefinisikan kembali. Pertama, dari perspektif yang berorientasi nilai, gagasan tentang tatanan politik yang egalitarian(mengatasi kemunduran politik) atau demokratis mencerminkan prinsip-prinsip dasar politik Islam yang harus diterapkan yaitu
al-‘adl [keadilan]
al-musâwâh [persamaan]
syûrâ [musyawarah mufakat])
al-amanah (kejujuran dan tanggung jawab)
al-ukhuwah (persaudaraan)
al-ta’addudiyah (menghargai kemajemukan atau pluralisme)
al-silm (mendahulukan perdamaian)
amr bi al-ma’ruf nahyian munkar (kontrol).
Prinsip tersebut di atas selaras dengan perintah Allah sebagaimana yang ditegaskan di dalam Alquran sebagai berikut.
a. Prinsip keadilan dan amanah tertuang dalam (Q.S. an-Nisa’, 4: 58). Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat “(Q.S. An-Nisa’, 4: 58).
b. Menghargai kemajemukan atau pluralisme dan Persamaan mengacu pada (Q.S. al-Hujurat, 49: 13). Allah Swt. berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal “(Q.S. Al-Hujurat, 49: 13).
c. Musyawarah mendasarkan pada Q.S. asy-Syura (42): 38 dan Ali Imran (3): 159. Allah Swt. berfirman:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka “(Q.S. Asy-Syura, 42: 38). ْ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Q.S. Ali Imran, 3: 159).
d. Prinsip mengutamakan perdamaian sesuai dengan Q.S. al-Anfal (8): 61. Allah Swt. berfirman:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. al-Anfal, 8: 61).
e. Prinsip menjalankan Amar ma’ruf nahi munkar berdasar Q.S. Ali Imran (3): 104. Allah Swt. berfirman:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (Q.S. Ali Imran, 3: 104).
Kedua, dari perspektif yang berorientasi tujuan, dengan mengedepankan tujuan sosial-politik semacam ini serta menolak gagasan negara Islam atau ideologi Islam, tokoh-tokoh generasi baru intelektualisme Islam di atas telah mempermudah jalan bagi berlangsungnya integrasi di kalangan arus utama politik nasional, dan karena itu, setidaknya secara teoretis, memperbesar peluang dan kesempatan bagi para partisipannya untuk terlibat sepenuhnya dalam diskursus politik di Indonesia.
Dengan demikian, reorientasi politik Islam bukan saja difokuskan pada mainstreaming paham-paham moderat dalam beragama, tetapi juga bagaimana agama itu dapat berperan dan berkontribusi positif bagi pembentukan insan kamil Indonesia yang saleh sekaligus kader bangsa Indonesia yang mempunyai kepedulian partisipatoris terhadap persoalan politik, sosial dan budaya serta memiliki kemandirian ekonomi yang kokoh.
Politik Islam dapat menjadi pelopor reaktualisasi peran empirik dan transformatif Islam melalui agenda aksi politik, ekonomi, dan sosial kebudayaan. Upaya ini memungkinkan politik Islam dapat terbebas dari ambisi dan nalar syari yang menghalangi terwujudnya transformasi sosial, politik dan ekonomi Islam yang rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seru sekalian alam. Untuk menuju ke sana ada tiga agenda yang perlu disiapkan oleh para pimpinan politik Islam.
Pertama, memperbaiki dan meningkatkan efektivitas kinerja politik dengan mempersiapkan manajemen peluang dan pengelolaan resiko yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, mengembalikan legitimasi di hadapan konstituen dengan mengembangkan program-program yang selaras dengan kebutuhan dan aspirasi mereka, terutama melalui program-program layanan publik.
Ketiga, keberanian menjalin komunikasi dan bahkan membangun koalisi dengan sesama kekuatan politik Islam (Permata, 2013: 104-105).
Partai Islam rentan terhadap konflik. Konflik ini rentan akan rekayasa internal. Guna mengurai hal tersebut, ada beberapa strategi koalisi yang bisa ditempuh, yaitu sebagai berikut.
Koalisi ideologis, yaitu kesepakatan politik berbasis kesamaan idealisme dan basis konstituen.
Koalisi programatis, yaitu koalisi yang tidak lagi normatif, mencoba mencari titik temu aspirasi pemilih dari kalangan Islam, melainkan lebih kepada merumuskan program-program kongkret yang akan menjawab persoalan yang secara Bersama atau pada umumnya dialami oleh konstituen Islam, namun dengan pendekatan dan wacana yang dikembangkan secara indipenden oleh masing-masing partai Islam. Resikonya, kemungkinan akan ada asimetri dan ketidaksinkronan wacana.
Koalisi strategis, yaitu kerjasama politik secara ad-hoc tanpa mengasumsikan kesamaan idealisme maupun program, dan hanya fokus kepada upaya untuk sama-sama bisa survive. Strategi ini dapat dilakukan dengan mencoba merumuskan “musuh bersama”, baik dalam sosok parpol pesaing ataupun realitas status quo politik yang ada.
Islam mewajibkan pemimpin rakyat, pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan, penuh bertanggung jawab kepada rakyat. Islam meletakkan dasar hidup antara bangsa dengan bangsa, antara suku bangsa dengan suku bangsa lain atas dasar harga menghargai, memberi, dan menerima. Dan membersihkan hidup bangsa dan suku bangsa dari chauvinism dan rasialisme (‘asabiyah jahiliyah) sehingga perdamaian didapat.
Dalam nomokrasi Islam, kekuasaan adalah amanat, karena ia amanat, ia menjadi kewajiban untuk ditunaikan oleh mereka yang mendapatkan amanat, mereka harus menyampaikan kepada yang berhak menerimanya, dalam nomokrasi Islam tidak dibenarkan penyalahgunaan kekuasaan.
Umat Islam selayaknya mau bersatu dan menjalin kerja sama (ta’awun) dalam proses politik. Ego sektoral selayaknya dipinggirkan guna meraih kemaslahatan yang lebih banyak yang luas. Kemaslahatan, tidak hanya guna menyelamatkan masa depan umat Islam di Indonesia yang mencapai 85 persen dari total pendudukan Nusantara (204 juta penduduk Muslim dengan asumsi jumlah total penduduk Indonesia 240 juta jiwa, pada tahun 2015).
Dalam peta politik Islam kontemporer, terutama pasca reformasi, kontestasi antara kelompok Islam politik dan politik Islam–atau antara Islam formalis dan Islam substantif– terus terjadi dan berjalan secara dinamis. Kelompok Islamis, meyakini Islam sebagai sebuah keyakinan hidup (belief system) yang sempurna, dan mencita-citakan berdirinya sebuah sistem Islam atau Islamic state, terus berusaha menyebarkan pengaruhnya di Indonesia. Kelompok Islam politik ini dalam banyak hal diwakili oleh kelompok Muslim oleh sebagian orang disebut sebagai bagian dari Islam transnasional.
Kelompok ini banyak beraktivitas dalam organisasi seperti: Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), dan kelompok Tarbiyah yang banyak berinduk dalam PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Dalam beberapa hal, partai politik Islam seperti PBB (Partai Bulan Bintang) dan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), juga dikelompokkan dalam kelompok ini.
Kedua partai inilah yang ketika amandemen UUD 1945 tahun 2002 mendesak penerapan syariat Islam secara formal dalam Konstitusi Indonesia. Di sisi lain, kelompok politik Islam substantif, cenderung menyerukan pemahaman dan aspirasi politik Islam yang lebih moderat. Kelompok ini dalam banyak hal direpresentasikan oleh organisasi Islam moderat seperti Muhammadiyah dan NU. Pada bagian lain, kelompok ini juga diwakili oleh partai-partai yang berbasiskan organisasi Islam, tapi berdasarkan visi kebangsaan, seperti Partai Amanah Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Hingga hari ini, organisasi Muslim terbesar di Indonesia yang diwakili oleh Muhammadiyah dan NU tidak menyetujui penerapan syariat Islam secara formal di level negara seperti pencantuman Piagam Jakarta. Kelompok ini juga menyatakan bahwa Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia yang wajib dijaga oleh seluruh komponen bangsa. Jadi, aspirasi politik Islam tidak identik dengan partai Islam atau Islam Politik. Fenomena ini sudah dimulai di Partai Golkar semenjak era 1980-an ketika partai ini banyak merekrut para aktivis Islam sebagai pengurus dan kadernya. Jargon Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menyatakan:
Islam Yes, Partai Islam No!, banyak menjadi inspirasi dan legitimasi dalam fenomena ini. Dan pasca reformasi, fenomena ini semakin berkembang karena banyak pimpinan inti partai-partai nasionalis yang berasal dari kaum santri. Sebut saja, PDI Perjuangan dengan Baitul Muslimin, Partai Demokrat melalui Majlis Dzikir Nurussalam, dan Partai Gerindra dengan jaringan Gerakan Muslim Indonesia Raya (GEMIRA).
Akhirnya, politik Islam merupakan wilayah ijtihad yang memerlukan seperangkat ilmu pendukung. Oleh karena itu, saat umat hanya menggunakan kacamata kuda meminjam istilah M. Amin Abdullah (2006), dalam proyek pendekatan studi Islam maka umat akan terbelenggu oleh paradigma pemikiran yang sempit. Memperluas cakrawala berpikir dan menemukan berbagai pendekatan dan mau bergaul dengan berbagai kelompok yang ada, akan memudahkan gerak dan langkah merumuskan masa depan Republik dengan cara-cara yang santun, anggun, dan beradab.
C. Masyarakat Madani
1. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani bersinonim dengan kata civil society, masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, dan masyarakat berbudaya (Culla, 2002: 3). Civil Islam memegangi prinsip, demokrasi formal tidak dapat tegak kecuali kekuatan negara dibatasi organisasi-organisasi masyarakat madani yang kuat. Tetap, pada saat yang sama, organisasi-organisasi masyarakat madani dan budaya demokrasi tidak bisa bertumbuh baik kecuali jika mereka dilindungi Negara yang menghargai masyarakat dengan menjunjung tinggi rule of law (Azra dalam Wahid, Darraz, dan Fanani (ed), 2015: 118). Masyarakat madani diartikan sebagai tatanan komunitas beradab (bonnum commune—meminjam istilah Habermas), yang melakukan serangkaian aktivitas berdasarkan aturan-aturan yang telah disepakati.
2. Piagam Madinah, Sebuah Landasan Filosofis
Fakta historis umat Islam guna menguatkan gagasan masyarakat madani dapat terbaca dari kehidupan Rasulullah., saw., dalam membangun Madinah dengan Piagam Madinah.
Jika dokumen politik yang paling awal dalam sejarah Islam diteliti lebih cermat dan mendalam, maka akan tampak bahwa prinsip-prinsip dasar tersebut telah diimplementasikan dalam Piagam Madinah (Shahifah al-Madînah, Mitsaq Madinah, Dustur alMadinah). Konstitusi itu mencakup di antaranya, prinsip persamaan (al-musawah, equality), partisipasi (al-musyarakah, participation) dan keadilan (al-‘adalah, justice). Selain itu Masykuri Abdillah (2000: 97-98) dan M. Sidi Ritaudin (2013: 76-77) menambahkan prinsip persaudaraan (al-ukhuwwah, brotherhood), permusyawaratan (al-syûrâ, deliberative), dan menghargai kemajemukan (al-ta’adduddiyah, plurality), serta lebih mendahulukan perdamaian daripada peperangan (as-salamah, peace). Prinsip-prinsip dasar itulah yang menjadikan Piagam Madinah telah melampaui zamannya.
3. Membincang Kepemimpinan dalam (Fikih) Islam
Bangunan keadaban masyarakat Madinah juga ditopang oleh prinsip keadilan. Dalam Piagam Madinah, kata ummah menjadi titik tekan yang
turut menguatkan bangunan masyarakat madani. Dalam kata ummah
terselip makna-makna yang cukup dalam.Kata ummah dalam bentuk tunggal terulang 52 kali dalam Alquran. Ad-Daminghani menyebutkan Sembilan arti untuk kata itu, yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya (Shihab, 2013: 432).
Dawam Rahardjo menjelaskan bahwa terdapat setidaknya empat
makna yang diasosiasikan pada ummah, yaitu:
1) bangsa, rakyat, kaum yang bersatu atas dasar keimanan
2) penganut suatu agama tertentu atau para pengikut seorang nabi
3) masyarakat umum atau “khalayak ramai
4) seluruh umat manusia.
Ummah pun bermakna ikatan persamaan apa pun yang
menyatukan makhluk hidup manusia—atau binatang—seperti
jenis, suku, bangsa, ideologi, atau agama, dan sebagainya, maka
ikatan itu telah menjadikan mereka satu umat (Shihab, 2013: 431).
Dalam proyek meritokrasi sebagai prasyarat masyarakat
madani, kepemimpinan bukan didasarkan pada agama yang dianut.
Namun, berdasarkan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.
Al-Mawardi (1983: 6) menyebutkan bahwa syarat seorang pemimpin adalah:
(1) memiliki sikap adil dengan segala persyaratannya
(2) memilik ilmu pengetahuan yang dapat mengantarkan pada ijtihad
(3) memiliki pendengaran, penglihatan dan lisan yang sehat
(4) memiliki anggota tubuh yang utuh
(5) memiliki deposit wawasan yang mencukupi
(6) memiliki keberanian untuk melindungi rakyatnya dan melawan musuh
(7) berasal dari keturunan Quraisy.
Al-Mawardi meletakkan sikap adil dalam posisi
pertama. Hal ini mengindikasikan bahwa keadilan dalam proses
kemimpinan merupakan hal utama. Karakteristik ini merujuk pada Surah al-Anfal (8:60) dan hadis Nabi Muhamad., saw., tentang keterampilan berkuda
dan memanah. Allah berfirman:
وَ اَعِدُّوۡا لَہُمۡ مَّا اسۡتَطَعۡتُمۡ مِّنۡ قُوَّۃٍ وَّ مِنۡ رِّبَاطِ الۡخَیۡلِ تُرۡہِبُوۡنَ بِہٖ عَدُوَّ اللّٰہِ وَ عَدُوَّکُمۡ وَ اٰخَرِیۡنَ مِنۡ دُوۡنِہِمۡ ۚ لَا تَعۡلَمُوۡنَہُمۡ ۚ اَللّٰہُ یَعۡلَمُہُمۡ ؕ وَ مَا تُنۡفِقُوۡا مِنۡ شَیۡءٍ فِیۡ سَبِیۡلِ اللّٰہِ یُوَفَّ اِلَیۡکُمۡ وَ اَنۡتُمۡ لَا تُظۡلَمُوۡنَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu
nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” (Q.S. Al-Anfal,8: 60).
Seorang dikatakan kuat manakala dia memiliki kekuatan lmu pengetahuan tentang keadilan dan cara melaksanakan hokum Allah. Sedangkan yang dimaksud memiliki amanah adalah seorang yang memiliki rasa takut kepada Allah (Wahid dalam Wahid, Darraz, dan Fanani (ed), 2015: 320-321) Di tempat lain Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa keadilan, merupakan syarat terpenting bagi seorang pemimpin. Sedemikian pentingnya keadilan Ibnu Taymiyah (1977: 146) mengatakan:
اٌ اللَّ نقيى انذونت انعادنت واٌ كاَت كافرة ولَ نقيى انظانًت واٌ كاَت يسهًت ونقال انذَيا تذوو يع انعذل وانكفر ولَ تذوو يع انظهى والَسلاو
Sesungguhnya Allah menyokong negara yang adil meskipun kafir
(pemimpinnya) dan tidak mendukung negara yang despotik
meskipun Muslim (pemimpinnya). Dunia itu dapat tegak dengan
memadukan antara kekufuran dan keadilan dan dunia tidak dapat
tegak dengan modal kezhaliman dan keislaman.
Kalimat Ibnu Taymiyah di atas kiranya mengisyaratkan bahwa kepala negara (pemimpin) yang mampu mengejawantahkan keadilan meskipun non-muslim lebih baik daripada kepala negara yang beragama Islam tetapi tidak mampu mengejawantahkan keadilan (Wahid dalam Wahid, Darraz, dan Fanani (ed), 2015: 320-322).
Penjelasan di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa
kepemimpinan non-muslim bukanlah masalah dalam proses
kebangsaan. Non-muslim dapat menjadi pemimpin di dalam
komunitas Muslim asal ia mempunyai keadilan dalam dirinya.
Inilah prinsip meritokrasi dalam bangunan masyarakat
madani. Seorang pemimpin dipilih bukan hanya karena faktor
agama. Namun, juga keunggulan dalam bidang-bidang terkait
kepemimpinan dan utamanya adalah sikap adil.
D. Penutup
Pada akhirnya, perbincangan mengenai masyarakat madani
pada dasarnya adalah sikap keterbukaan dan penerimaan terhadap
kelompok lain dalam membangun tatanan masyarakat berbudaya
dan beradab. Kondisi sosial itu menjadi indikator terbangunnya
relasi simbolik dan substansial penghargaan terhadap
kemanusiaan (humanity).
Dalam hal kepemimpinan pun, umat Islam tidak perlu silau
dengan “keberhasilan” pemimpin non-muslim. Kepemimpinan
muslim di Indonesia punya prestasi yang tak kalah membanggakan
dibandingkan Walikota/Gubernur nonmuslim. Wallahu a’lam.
Sumber :http://library.uny.ac.id/sirkulasi/index.php?p=show_detail&id=55773&keywords=Dinul+islam
Comments
Post a Comment